Dewi, gadis cantik berusia 22 tahun ini harus menahan bosan setiap harinya melihat tingkah laku ayahnya. Bisa Anda bayangkan, siapa yang tidak bosan bila melihat sang Ayah yang sudah pensiun dan jobless, namun ketika berbicara selalu yang muluk-muluk.
Sang Ayah tak henti-hentinya menceritakan bagaimana hebatnya dia dulu ketika menjabat direktur utama dari sebuah perusahaan otomotif di Cikarang. Sang Ayah seakan tidak sadar, bahwa cerita yang selalu diulang-ulangnya sudah puluhan kali didengarkan oleh Dewi. Namun ketika ditegur, ayahnya tidak bisa menerima dan menganggap Dewi belum berpengalaman atau masih bau kencur.
Ketika teman-teman Dewi main ke rumah, ayah Dewi selalu memberikan “kuliah” kepada teman-temannya agar mereka mencontoh apa yang sudah dilakukan ayahnya. Tidak hanya di rumah, di lingkungan tetangga sekitar rumah pun, ayah Dewi dikenal sebagai “pengobral” kisah di masa lalu yang sudah usang. Akibatnya, bukan hanya Dewi saja yang bosan, tetapi tetangganya yang sudah bosan mendengar cerita ayahnya juga langsung menyingkir begitu melihat ayah Dewi datang.
Post Power Syndrome
Post-power syndrome, merupakan gejala yang dialami di mana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (entah itu karirnya, kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal yang lain yang pernah dialami di masa lalu), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini.
Post power syndrome inilah yang menimpa ayah Dewi. Beliau selalu ingin mengungkapkan kebanggannya di masa lalunya yang dilaluinya dengan jerih payah yang menurutnya luar biasa.
Post power syndrome dapat terjadi karena banyak faktor. Salah satu penyebabnya antara lain Pensiun dini dan PHK. Bagi sebagian orang yang belum siap menerima kenyataan dipensiunkan dini walaupun menurutnya dirinya masih bisa memberi kontribusi yang signifikan kepada perusahaan, maka akan lebih mudah terkena post-power syndrom.
Terlebih ketika usianya sudah tidak lagi produktif dan tidak ada lagi perusahaan yang mau menerima lamaran pekerjaan untuknya, maka post-power syndrom yang menyerangnya akan semakin parah.
Post-power syndrome juga dapat diakibatkan karena seseorang mengalami kejadian traumatik. Misalnya kecelakaan yang dialami oleh seorang pelari berprestasi, yang karena suatu keadaan kakinya harus diamputasi dan tidak dapat diselamatkan. Bila dia tidak mampu menerima keadaan yang dialaminya, dia akan mengalami post-power syndrome. Dan jika terus berlarut-larut, tidak mustahil gangguan jiwa yang lebih berat akan dideritanya.
Post-power syndrome umumnya dialami terutama orang yang sudah lanjut usia dan pensiun dari pekerjaannya. Hanya saja pada beberapa orang, banyak yang berhasil melalui fase ini dengan cepat dan dapat menerima kenyataan dengan hati yang lapang.
Namun pada kasus-kasus tertentu, dimana seseorang tidak mampu menerima kenyataan yang dihadapinya, ditambah dengan tuntutan hidup yang terus mendesak, serta dirinya menjadi satu-satunya penopang hidup dalam keluarga, resiko terjadinya post-power syndrome yang berat akan semakin besar.
Beberapa kasus post-power syndrome yang berat diikuti oleh gangguan jiwa seperti tidak bisa berpikir rasional dalam jangka waktu tertentu, depresi yang berat, atau pada pribadi-pribadi introfert (tertutup) terjadi psikosomatik (sakit yang disebabkan beban emosi yang tidak tersalurkan) yang parah.
Penanganan Post Power Syndrome
Bila seorang penderita post-power syndrome dapat menemukan aktualisasi diri yang baru, hal itu akan sangat menolong baginya. Misalnya seorang manajer yang terkena PHK, tetapi bisa beraktualisasi diri di bisnis baru yang dirintisnya (agrobisnis misalnya), ia akan terhindar dari resiko terserang post-power syndrome.
Di samping itu, dukungan lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga, dan kematangan emosi seseorang sangat berpengaruh pada terlewatinya fase post-power syndrome ini. Seseorang yang bisa menerima kenyataan dan keberadaannya dengan baik akan lebih mampu melewati fase ini dibanding dengan seseorang yang memiliki konflik emosi.
Penderita Post Power Syndrome sangat membutuhkan dukungan dan pengertian dari orang-orang tercinta dalam keluarganya. Bila penderita melihat bahwa orang-orang yang dicintainya dapat memahami dan mengerti keadaan dirinya, atau ketidak mampuannya mencari nafkah, ia akan lebih bisa menerima keadaannya dan lebih mampu berpikir secara dingin.
Dengan demikian, akan mengembalikan kreativitas dan produktifitasnya, meskipun tidak sehebat dulu. Akan sangat berbeda hasilnya jika keluarga malah mengejek dan selalu menyindirnya, menggerutu, bahkan mengolok-oloknya.
Post-power syndrome dapat menyerang siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, Kematangan emosi dan kehangatan dalam keluarga sangat membantu untuk melewati fase ini.
Kebiasaan hidup sederhana dan suka menabung akan sangat membantu mempersiapkan diri menghadapi post-power syndrome. Karena bila post-power syndrome menyerang pada seseorang yang sudah terbiasa hidup mewah, tanpa bekal persiapan di hari tua, tentu akibatnya akan lebih parah.
Baca juga:
Cara Mengatasi Temper Tantrum Pada Anak